Oleh:Lukas Talar Tarigan
Yang
paling mempengaruhi pemikiran Yohanes adalah pengajaran Yesus dan kekristenan
mula-mula. Penyataan-penyataan Yohanes merupakan suatu paralel dengan rasul
lain dengan tujuan saling mendukung pengajaran dan menguatkan orang percaya
mula-mula dari ajaran kekristenan. Menjelaskan kehadiran Kristus Sang Tuhan
dalam wujud manusia yang terbatas merupakan suatu tantangan tersendiri bagi
Yohanes dan para murid terutama bagi kalangan Yudaisme yang beropini bahwa
Allah (Trinitas: Bapa) adalah Pribadi yang mustahil untuk dihampiri.[1]
Baik
injil Yohanes dan I Yohanes, pada kalimat awal pembukanya tersirat teologi yang
disajikan oleh Yohanes. Pada Yohanes 1:1-18 berbicara bahwa pada awalnya Logos atau Firman Tuhan adalah awal dari
segala sesuatu (dan Tuhan adalah Firman itu sendiri). Allah menciptakan dunia
dan menyatakan keberadaanNya sendiri kepada ciptaanNya melalui caraNya sendiri
dan memberikan terang dan hidup kepada ciptaanNya yang mati melalui tindakanNya
yang aktif kepada ciptaanNya tersebut.[2]
Berbicara tentang teologi Yohanes bukan saja berbicara mengenai kristologi
Kristus, namun juga berbicara tentang soteriologi dan eskatologi yang dibawa
oleh Kristus sehingga cara dan tujuan akhir yang dimiliki oleh kekristenan
merupakan suatu keunikan yang tidak dijumpai dalam kepercayaan yang lain.
Pada
bagian ini, penulis akan meninjau konsep eksklusivisme yang dipakai oleh
“Kristen Fundamentalis” dalam Yohanes 14:6 dan melakukan pendekatan trinitas
dalam upaya “melembutkan” eksklusivisme sehingga dapat melihat kemungkinan
hadirnya agama-agama lain di dalam relasi dengan Allah Trinitas.
Pada
bagian ini, penulis akan melihat latar belakang dan presaposisi yang dibangun
oleh eksklusivisme dan konsep trinitas dalam sudut pandang masing-masing
(sehingga mendekati objektif) dan meninjaunya dalam sudut pandang teologi
Yohanes dan terkhusus Yohanes 14:6.
A.
Eksklusivisme
Eksklusif
pada awalanya merupakan predikat yang ditempelkan oleh orang Israel akibat
“pemilihan” yang Allah berikan kepada mereka (Kej 12). Bangsa Israel menjadi
bangsa yang di”khusus”kan Allah ketimbang bangsa lain dan menjadi
“kepunyaanNya” dan “yang sulung”. Hal tersebutlah yang mengakibatkan bangsa
Israel memandang bangsa lain lebih “rendah” derajatnya dibanding mereka.[3]
Tradisi tersebut berlangsung cukup lama hingga akhirnya bangsa tersebut
“diserakkan” oleh Allah akibat sikap bangsa tersebut yang tidak taat kepadaNya
(Amos 3:9-15).
Pada
abad pertengahan, eksklusivisme mulai digemakan kembali oleh Roma Katolik yang
berpendapat bahwa “di luar gereja tidak ada keselamatan”. Namun jauh sebelum
itu, sesungguhnya Clement telah menganut pandangan, yang menempatkan gereja
sebagai ukuran (eklesiocentrisme), berpendapat bahwa “keselamatan diperoleh
dalam hubungannya dengan gereja, melalui baptisan, seseorang menjadi salah satu
anggota gereja”.[4]
Berikutnya,
akibat gerakan Pencerahan pada abad pertengahan dan didorong semangat
mereformasi gereja Katolik yang terjebak pada dogma-dogma yang kaku dan
kemerosotan moral, Luther menolak eksklusivisme yang dianut oleh gereja Katolik
dan memandang bahwa “di luar gereja ada
keselamatan” melalui “pembenaran oleh iman” atau sola fide.[5]
Berkembang kemudian, para reformator setelah Luther berusaha membuat rumusan
baru mengenai eksklusivisme terhadap “orang-orang benar”. Hal tersebut kemudian
dirumuskan oleh Calvin yang menyatakan bahwa eksklusivisme tidak lagi bersifat
kelompok namun lebih kepada individu.[6]
Namun individu-individu tersebut memerlukan suatu komunal untuk memperjelas
keberadaan mereka. Orang-orang (komunal) tersebutlah yang kemudian
mem-fanatik-kan diri dan mengeksklusifkan diri mereka sehingga memandang mereka
sebagai “orang-orang” yang sudah di-”tetap”-kan Allah untuk selamat dan melihat
“orang-orang yang tidak ditetapkan untuk selamat” sebagai kehendak Allah dan
bukan kegagalan individu tersebut dalam menjangkau mereka.
B.
Trinitas
Keesaan
Tuhan pada dasarnya sudah digemakan sejak awal (Bd. Ulangan 6:4). Kata “Ekhad”
yang dipakai untuk menyatakan pribadi Allah oleh Musa menyatakan keesaan Allah
yang bukan tunggal namun juga tidak jamak. Trinitas kemudian dipakai oleh bapa
gereja sebagai penyataan keesaan Allah
(tiga dalam satu pribadi) dalam hubungan Bapa – Anak – Roh yang merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Trinitas
kemudian menjadi suatu bagian yang sulit dimengerti ketika pewujudan Allah
hadir di dalam Yesus. Pernyataan tentang pandangan gereja mengenai pribadi
Yesus terlebih dahulu perlu didasari akan pemahaman mengenai “natur” dan
“pribadi”. Istilah “natur” menunjuk pada arti (menyeluruh) seluruh kualitas
esensial dari sesuatu, yang menjadikan sesuatu itu sebagaimana dia ada. Sebuah
natur adalah suatu substansi yang dimiliki secara umum, dengan semua kualitas
esensial dari substansi seperti itu. Istilah “pribadi” menunjuk pada arti
substansi yang lengkap yang diperlengkapi dengan pikiran, dan tentu saja suatu
subjek yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya sendiri, Kepribadian
bukanlah suatu bagian esensial dan integral dari suatu natur, akan tetapi
sebagaimana adanya dulu, merupakan terminal akhir dari kecenderungannya. Suatu pribadi adalah sebuah natur dengan
sesuatu yang ditambahkan, suatu subsistensi yang berdiri sendiri, yang
individualitas. Sekarang Logos itu mengambil natur manusia yang tidak
diperpribadikan, yang tidak ada pada dirinya sendiri.[7]
Doktrin
dua natur dalam satu pribadi (Kristus: Allah 100% – Manusia 100%) melampaui
pemikiran manusia. Doktrin ini adalah pernyataan dari suatu kenyataan di luar
jangkauan indra, dan juga misteri yang tidak dapat terpahami, dan sama sekali
tidak memiliki analogi dalam hidup manusia sebagaimana kita ketahui, dan tidak
ada dukungan dari pikiran manusia, dan dengan demikian hanya dapat diterima
dengan iman berdasarkan otoritas Firman Tuhan.[8]
Dengan
memahami Trinitas sebagai suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan, maka
setiap tindakan yang dilakukan oleh salah
satu Pribadi tidak dapat dipisahkan peranannya oleh Pribadi yang lain.
Setiap tindakan (walaupun dalam pewujudannya
dilakukan oleh salah satu wujud pribadi)
yang dilakukan oleh Trinitas merupakan suatu tindakan bersama yang merupakan
pewujudnyataan keberadaan Tuhan atas penyataanNya tersebut.
C.
Pandangan
Teologi Yohanes terhadap Eksklusivismedan Trinitas
Tampaknya
kita perlu membedakan “prapaham” dan “prasangka”. Prapaham adalah sesuatu yang
ada dalam diri kita, yang menyebabkan kita melihat atau tidak melihat sesuatu
di dalam teks. Prapaham itu (sebaiknya) kita biarkan terbuka dalam interaksi
kita dengan teks atau dengan dunia di luar kita, sehingga prapaham kita
berkembang menjadi paham. Prasangka adalah prapaham yang kita biarkan tertutup
terus, tidak pernah kita biarkan menjadi paham. Prasangka adalah paham yang
disalahpahami sebagai paham.[9]
Oleh
sebab itu, sepertinya kita perlu melihat
pendapat Yohanes mengenai eksklusivisme. Frasa yang seringkali digunakan
sebagai eksklusifitas dari kekristenan (berpandangan eksklusivisme) adalah
dalam Yohanes 14:6.[10]
Yohanes 14:6 selalu menjadi teks yang terisolasi dari seluruh struktur tekstual
dan historisnya dan karenanya dapat dimanfaatkan untuk tujuan apa pun yang terlepas dari makna
kontekstualnya. Selain itu, kerap terjadi literalisasi atas metafora ini
sedemikian rupa hingga justru para pemakainya terjebak ke dalam
ketidakmengertian yang mirip dengan apa yang ditunjukkan baik oleh Simon
Petrus, “Tuhan, ke manakah Engaku pergi?” (Yoh 13:36), maupun Tomas, “Tuhan,
kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?”
(Yoh 14:5). Ketidakmengertian itu tentu bukanlah kesalahan Petrus atau Tomas,
sebab Yesus sendiri mengatakan di 14:2, “Di rumah BapaKu banyak tempat
tinggal... sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.”
Pada
Yohanes 13:3, “ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang,” Yesus
sesungguhnya menggemakan keyakinan iman yang telah dianut bahkan oleh iman
Israel mengenai transendensi Allah, yang kemudian ditegaskan ulang oleh Paulus
di dalam 1 Timotius 6:16 “Dialah
satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemanyam dalam terang yang tak
terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat
melihat Dia. BagiNyalah hormat dan kuasa yang kekal! Amin.” Sang Bapa memang
tak mungkin terhampiri (unapproacble),
tak terkatakan (unsayable), dan tak terpahami
(incomprehensible). Di dalam Yohanes
14:2 menunjukkan dua tempat, yang satu adalah “tempat tinggal” (mone) dan yang lain adalah “tempat” (topos). Sementara topos lebih menunjuk pada sebuah lokasi spesial, mone lebih menunjuk pada sebuah “lokasi”
relasional.
Kata
mone hanya muncul dua kali di Alkitab
dan keduanya terdapat di dalam Yohanes 14, yaitu ayat 2 dan ayat 23, “Jika
seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu dan BapaKu akan mengasihi dia
dan Kami akan datang kepadanya dan diam (mone)
bersama-sama dengan dia.” Akar kata dari mone
adalah meno yang berarti “berdiam”
atau “tinggal” (dwelling) yang muncul
sangat melimpah khususnya dalam tulisan Yohanes. Kata ini secara Trinitas
dipergunakan untuk merujuk pada persekutuan relasional antara Sang Bapa dan
Sang Anak: Sang Bapa tinggal di dalam Sang Anak dan Sang Anak tinggal di dalam
Bapa (Bd. Yoh 14:10).
Gagasan
inilah yang menjadi dasar terkuat bagi doktrin Trinitas yang disebut perichoresis yang berarti “saling
tinggal” atau “saling memberi ruang” (mutual
indwelling) antara tiga Pribadi ilahi. Dalam perspektif inilah maka, “rumah
Bapa” pada ayat 2 perlu dilihat bukan sebuah topos namun sebagai mone,
dan itu berarti Sang Bapa adalah Sang Rumah itu sendiri, sebab di dalam Sang
Bapa itulah Sang Anak berdiam pada gilirannya ciptaan dapat dikatakan “berdiam
di dalam Sang Bapa” hanya dengan cara
berdiam di dalam Sang Anak. Ciptaan tetap tak mungkin diam secara langsung di
dalam Sang Bapa yangg tak terhampiri itu, kecuali melalui dan di dalam Sang
Anak. Itulah sebabnya, di ayat 7 Yesus menegaskan, “sekiranya kamu mengenal
Aku, pasti kamu juga mengenal BapaKu. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu
telah melihat Dia.” Hal yang sama diucapkanNya untuk menjawab Filipus yang
ingin melihat Sang Bapa (ay. 8) dan tentulah keinginan Filipus ini mengingkari
prinsip transendensi Bapa. Maka Yesus menjawab, “Barangsiapa telah melihat Aku,
ia telah melihat Bapa.” (ay.9).[11]
D.
Meninjau
ulang eksklusivisme melalui Yohanes 14:6
a.
Melalui
kata ego eimi
Koegel
menjelaskan bahwa Yesus tidak berkata: “Aku akan menunjukkan kepadamu jalan”
seperti kata Musa, namun “Akulah jalan”; bukan “Aku punya kebenaran” seperti
kata Elia, tapi “Akulah kebenaran”; Bukan hanya “Aku akan menuntunmu kepada
hidup” namun, “Akulah hidup”. Penekanan kata Ego Eimi yang dipakai Yohanes dalam perkataan Yesus menekankan
kesetaraan Yesus dengan Bapa. Yesus yang merupakan gambar dan rupa Allah
sendiri, yang lahir dari anak dara Maria merupakan pendamai sekaligus inkarnasi
Allah sendiri dalam upaya penyelamatanNya terhadap manusia. Penyataan diriNya
inilah sebagai dasar dari soteriologi salib Kristus yang menunjukan bahwa
Dialah satu-satunya dan yang layak menebus dosa manusia. Karena hanya Dialah
yang sempurna dan tak bercacat.[12]
Penggunaan Ego Eimi mengingatkan kita
akan penyataan diri Tuhan dalam Perjanjian Lama (Keluaran 3:14). TUHAN, adalah
nama diatas segala nama dan Dialah yang tidak ternamai oleh manusia karena
keberadaan dan kekuasaanNya yang melampaui segala yang ada. Penyataan Yesus
yang menyamakan diriNya sebagai Yang Ada, Yang Telah Ada dan Yang Terus Ada
sebenarnya menyatakan kehadiranNya sebelum dunia dijadikan (Yoh 1:1).
b.
Melalui
kata aleteia
Kata
aleteia merupakan realitas akan
anugerah yang diberikan Allah kepada manusia melalui inkarnasiNya. Hukum
diberikan Allah lewat mediator layaknya Musa pada Perjanjian Lama. Namun dalam
hal anugerah keselamatan dan kebenaran haruslah disampaikan oleh Allah sendiri.
Dalam hal memperoleh “jalan”, diperlukan penguasaan oleh Allah sendiri dalam
melingkupi orang yang mengikuti “jalan” tersebut.[13]
Jalan bukanlah berarti jalur yang dipakai dan kemudian jika telah mencapai
tujuan ditinggalkan. Jalan disini menunjukkan kehadiran diriNya dalam karya
penyelamatanNya kepada umatNya. Jalan yang dimaksud adalah kehadiran Tuhan
dalam Anak dalam melingkupi seluruh aspek kehidupan orang percaya dalam rangka
keselamatan dan perdamaian kembali dengan Bapa.
E.
Pendekatan
Trinitas sebagai pengganti eksklusifitas dalam Yohanes 14:6
Jika
prinsip Trinitas ini kita pahami dengan sungguh, maka ucapan Yesus di dalam
ayat 6 yang menegaskan diriNya sebagai Sang Jalan itu jadi berbeda
penghayatannya. Kita tidak lagi memahami Yesus sebagai sebuah jalan menuju
sebuah tujuan, yaitu Allah Bapa, dan jalan itu akan kita tinggalkan setelah
kita mencapai tujuan itu – demikianlah lazimnya fungsi instrumental sebuah
jalan, bukan? – Namun, kita dapat mengalami Sang Tujuan atau Sang Rumah itu
secara berbarengan, sekalipun pada saat yang bersamaan kita tidak akan pernah
melihat Sang Rumah, sebab Sang Rumah hanya dapat kita alami sementara kita
menjalani Sang Jalan. Dengan kata lain, perjalanan melalui Yesus adalah tujuan
itu sendiri. Sang Jalan dan Sang Rumah menyatu secara perichoretis. Sang Rumah (Sang Bapa) dicapai dan didiami sementara
kita menjalani Sang Jalan.
Pendekatan
ini di satu sisi mempertegas karakter Trinitas dari Kristus yang hadir untuk
menghadirkan sepenuh-penuhnya Sang Tak Hadir itu, sedemikian hingga di dalam
hidup orang percaya baik Sang Bapa maupun Sang Anak “akan datang kepadanya dan
diam bersama-sama dengan dia.’ (Ay. 23). Di sisi lain, pendekatan ini menjadi
cara jitu penulis Yohanes untuk mencapai tujuan percakapan ini, yakni untuk
memberi peneguhan spiritual bagi para murid yang tengah gentar menghadapi
ketidakpastian hidup. Itulah sebabnya di ayat 1 Yesus berseru “Janganlah
gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepadaKu,” dan dengan
cara yang kurang-lebih sama Ia mengulangi di ayat 27c; “Janganlah gelisah dan
gentar hatimu.” Seluruh diskursus ini, dengan kata lain, memang dimaksudkan
pertama-tama untuk memberi sebuah sapaan pastoral Trinitas bagi orang-orang
(yang sudah) percaya. Jika persekutuan Sang Bapa dan Sang Anak di dalam Roh
Kudus menjadi tujuan utama Kristiani, dimana Sang Jalan dan Sang Rumah bersatu,
serta manusia diundang untuk berpartisipasi ke dalam persekutuan Trinitas tersebut, maka jalan-jalan yang
ditawarkan oleh agama-agama lain mungkin saja berlangsung walau tidak sama dan
tidak sedalam apa yang kita alami di dalam persekutuan Allah Trinitas itu.[14]
Jadi, klaim dalam ayat 6b, “tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau
tidak melalui Aku,” tidak ingin menolak secara total jalan-jalan lain, namun
menolak kemungkinan bahwa jalan-jalan lain tersebut berujung pada persekutuan
yang sama yang kita alami bersama dan di dalam Allah Trinitas. Konsep ini juga
pada akhirnya menolak paham pluralisme karena mustahil adanya keseragaman
konsep soteriologis jika konsep eskatologisnya saja berbeda. Dengan demikian
dapat dimasukkan adanya kemungkinan kehadiran agama-agama lain di dalam relasi dengan
Allah Trinitas.[15]
Kesimpulan
Kesimpulan penulis dari
makalah ini adalah konsep eksklusif yang dipakai oleh kekristenan di dalam
Yohanes 14:6 untuk menanggapi keberagaman agama dan kepercayaan (yang lain)
yang ada tidaklah lagi menjadi relevan karena maksud dan tujuan Yohanes dalam
menulis perkataan Yesus bukanlah demikian. Penyataan Yesus dalam Yohanes 14:6
lebih menyatakan keberadaan Allah yang Trinitas dan bukan menyatakan konsep
soteriologis saja tanpa melihat eskatologisnya juga. Penyataan diri Allah dalam
Anak merupakan penyataan diri Bapa dan Roh Kudus juga. Penyataan diriNya
haruslah dibarengi dengan pemahaman akan ketiga naturNya dan tidak memisahkan
kepribadianNya (tergantung) dari pewujudanNya (Bapa – Anak – Roh).
Dengan tidak
meng-eksklusif-kan (pada akhirnya cenderung menutup diri dari dunia luar) diri
terhadap kepercayaan lain dan menganggap kebenaran yang kita anut adalah mutlak
dan radikal maka secara tidak langsung kita membuka jalan bagi orang lain yang
belum mengenal Allah melihat keindahan karya penyelamatanNya atas manusia dan
membuka jalan pertobatan bagi yang hilang (Lukas 19:10).
2013 dalam Konprensi
Teologi yang diselenggarakan STT Amanat
Agung (pada tanggal 28-29 Oktober 2013).
Baan,
G.J,
2010 TULIP, Lima Pokok Calvinisme, Surabaya:
Momentum.
Berkhof,Louis,
2011 Teologi Sistematika “Doktrin Kristus” vol.
3, Surabaya: Momentum.
Bromiley,
Geoffrey W
1992 The International Standard Bible
Encyclopedia vol. II, Grand Rapids: William B. Eerdmans.
Heim,S.
Mark,
2001 The Depth of the Riches: A Trinitarian
Theology of Religious Ends, Grand Rapids: W.B Eerdmans, 2001.
Kuhl,Dietrich,
2010 Sejarah Gereja “Antara Iman Dan Rasio” jilid
3, Batu: YPPII.
Lenski,
R.C.H,
1963 The Interpreter of St. John’s Gospel, Minneapolis:
Augsburg Publishing House.
Lumintang,Stevri
Indra,
2009 Theologia Abu-abu, Malang: Gandum Mas.
Singgih,
E. Gerrit (Peny.),
2004 Forum Biblika “Jurnal Ilmiah Populer”,Jakarta:
LAI.
[1] Geoffrey W. Bromiley, The International Standard Bible
Encyclopedia vol. II, (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1992), 1082.
[2] Ibid.
[3] Untuk melihat lebih
lanjut, bangsa Israel menggunakan kata “Am” sebagai predikat bangsa pilihan dan
“goy(im)” kepada bangsa-bangsa lain (kafir).
[4] Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-abu, (Malang: Gandum Mas,
2009), 206.
[5] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja “Antara Iman Dan Rasio” jilid
3, (Batu: YPPII, 2010), 10-13.
[6]G.J. Baan, TULIP, Lima pokok Calvinisne, (Surabaya:
Momentum, 2011), 5-20.
[7] Louis Berkhof, Teologi Sistematika “Doktrin Kristus” vol.
3, (Surabaya: Momentum, 2011), 42-43.
[8] Ibid, 45.
[9] E. Gerrit
Singgih(Peny.), Forum Biblika “Jurnal
Ilmiah Populer”, (Jakarta: LAI, 2004), 38-39.
[10] Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-abu,... 206.
[11] Dikutip dari orasi
ilmiah Dr. Joas Adiprasetya dalam Konprensi Teologi yang diselenggarakan STT Amanat Agung pada tanggal 28-29 Oktober
2013.
[12] R.C.H. Lenski, The Interpreter of St. John’s Gospel,
(Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1963), 980.
[13] Ibid.
[14] S. Mark Heim, The Depth of the Riches: A Trinitarian
Theology of Religious Ends, (Grand Rapids: W.B Eerdmans, 2001), 10-20.
[15] Dikutip dari orasi
ilmiah Dr. Joas Adiprasetya dalam Konprensi Teologi yang diselenggarakan STT Amanat Agung pada tanggal 28-29 Oktober
2013.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusYohanes 14 : 6 dalam bahasa Ibrani : " Anokhi haDerekh, vehaEmet, vehaChayim. Lo yavo el haAv bilti al yadi.
BalasHapusYohanes 14 : 6 dalam bahasa Ibrani : " Anokhi haDerekh, vehaEmet, vehaChayim. Lo yavo el haAv bilti al yadi.
BalasHapus