Sabtu, 25 Juli 2015

Tanggapan Terhadap Eksklusivisme Melalui Trinitas Dalam Yohanes 14:6

Oleh:Lukas Talar Tarigan

 
            Yang paling mempengaruhi pemikiran Yohanes adalah pengajaran Yesus dan kekristenan mula-mula. Penyataan-penyataan Yohanes merupakan suatu paralel dengan rasul lain dengan tujuan saling mendukung pengajaran dan menguatkan orang percaya mula-mula dari ajaran kekristenan. Menjelaskan kehadiran Kristus Sang Tuhan dalam wujud manusia yang terbatas merupakan suatu tantangan tersendiri bagi Yohanes dan para murid terutama bagi kalangan Yudaisme yang beropini bahwa Allah (Trinitas: Bapa) adalah Pribadi yang mustahil untuk dihampiri.[1]

Baik injil Yohanes dan I Yohanes, pada kalimat awal pembukanya tersirat teologi yang disajikan oleh Yohanes. Pada Yohanes 1:1-18 berbicara bahwa pada awalnya Logos atau Firman Tuhan adalah awal dari segala sesuatu (dan Tuhan adalah Firman itu sendiri). Allah menciptakan dunia dan menyatakan keberadaanNya sendiri kepada ciptaanNya melalui caraNya sendiri dan memberikan terang dan hidup kepada ciptaanNya yang mati melalui tindakanNya yang aktif kepada ciptaanNya tersebut.[2] Berbicara tentang teologi Yohanes bukan saja berbicara mengenai kristologi Kristus, namun juga berbicara tentang soteriologi dan eskatologi yang dibawa oleh Kristus sehingga cara dan tujuan akhir yang dimiliki oleh kekristenan merupakan suatu keunikan yang tidak dijumpai dalam kepercayaan yang lain.
Pada bagian ini, penulis akan meninjau konsep eksklusivisme yang dipakai oleh “Kristen Fundamentalis” dalam Yohanes 14:6 dan melakukan pendekatan trinitas dalam upaya “melembutkan” eksklusivisme sehingga dapat melihat kemungkinan hadirnya agama-agama lain di dalam relasi dengan Allah Trinitas.
Pada bagian ini, penulis akan melihat latar belakang dan presaposisi yang dibangun oleh eksklusivisme dan konsep trinitas dalam sudut pandang masing-masing (sehingga mendekati objektif) dan meninjaunya dalam sudut pandang teologi Yohanes dan terkhusus Yohanes 14:6.

A.    Eksklusivisme
Eksklusif pada awalanya merupakan predikat yang ditempelkan oleh orang Israel akibat “pemilihan” yang Allah berikan kepada mereka (Kej 12). Bangsa Israel menjadi bangsa yang di”khusus”kan Allah ketimbang bangsa lain dan menjadi “kepunyaanNya” dan “yang sulung”. Hal tersebutlah yang mengakibatkan bangsa Israel memandang bangsa lain lebih “rendah” derajatnya dibanding mereka.[3] Tradisi tersebut berlangsung cukup lama hingga akhirnya bangsa tersebut “diserakkan” oleh Allah akibat sikap bangsa tersebut yang tidak taat kepadaNya (Amos 3:9-15).
Pada abad pertengahan, eksklusivisme mulai digemakan kembali oleh Roma Katolik yang berpendapat bahwa “di luar gereja tidak ada keselamatan”. Namun jauh sebelum itu, sesungguhnya Clement telah menganut pandangan, yang menempatkan gereja sebagai ukuran (eklesiocentrisme), berpendapat bahwa “keselamatan diperoleh dalam hubungannya dengan gereja, melalui baptisan, seseorang menjadi salah satu anggota gereja”.[4]
Berikutnya, akibat gerakan Pencerahan pada abad pertengahan dan didorong semangat mereformasi gereja Katolik yang terjebak pada dogma-dogma yang kaku dan kemerosotan moral, Luther menolak eksklusivisme yang dianut oleh gereja Katolik dan memandang bahwa  “di luar gereja ada keselamatan” melalui “pembenaran oleh iman” atau sola fide.[5] Berkembang kemudian, para reformator setelah Luther berusaha membuat rumusan baru mengenai eksklusivisme terhadap “orang-orang benar”. Hal tersebut kemudian dirumuskan oleh Calvin yang menyatakan bahwa eksklusivisme tidak lagi bersifat kelompok namun lebih kepada individu.[6] Namun individu-individu tersebut memerlukan suatu komunal untuk memperjelas keberadaan mereka. Orang-orang (komunal) tersebutlah yang kemudian mem-fanatik-kan diri dan mengeksklusifkan diri mereka sehingga memandang mereka sebagai “orang-orang” yang sudah di-”tetap”-kan Allah untuk selamat dan melihat “orang-orang yang tidak ditetapkan untuk selamat” sebagai kehendak Allah dan bukan kegagalan individu tersebut dalam menjangkau mereka.

B.     Trinitas
Keesaan Tuhan pada dasarnya sudah digemakan sejak awal (Bd. Ulangan 6:4). Kata “Ekhad” yang dipakai untuk menyatakan pribadi Allah oleh Musa menyatakan keesaan Allah yang bukan tunggal namun juga tidak jamak. Trinitas kemudian dipakai oleh bapa gereja sebagai penyataan keesaan Allah (tiga dalam satu pribadi) dalam hubungan Bapa – Anak – Roh yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Trinitas kemudian menjadi suatu bagian yang sulit dimengerti ketika pewujudan Allah hadir di dalam Yesus. Pernyataan tentang pandangan gereja mengenai pribadi Yesus terlebih dahulu perlu didasari akan pemahaman mengenai “natur” dan “pribadi”. Istilah “natur” menunjuk pada arti (menyeluruh) seluruh kualitas esensial dari sesuatu, yang menjadikan sesuatu itu sebagaimana dia ada. Sebuah natur adalah suatu substansi yang dimiliki secara umum, dengan semua kualitas esensial dari substansi seperti itu. Istilah “pribadi” menunjuk pada arti substansi yang lengkap yang diperlengkapi dengan pikiran, dan tentu saja suatu subjek yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya sendiri, Kepribadian bukanlah suatu bagian esensial dan integral dari suatu natur, akan tetapi sebagaimana adanya dulu, merupakan terminal akhir dari kecenderungannya. Suatu pribadi adalah sebuah natur dengan sesuatu yang ditambahkan, suatu subsistensi yang berdiri sendiri, yang individualitas. Sekarang Logos itu mengambil natur manusia yang tidak diperpribadikan, yang tidak ada pada dirinya sendiri.[7]
Doktrin dua natur dalam satu pribadi (Kristus: Allah 100% – Manusia 100%) melampaui pemikiran manusia. Doktrin ini adalah pernyataan dari suatu kenyataan di luar jangkauan indra, dan juga misteri yang tidak dapat terpahami, dan sama sekali tidak memiliki analogi dalam hidup manusia sebagaimana kita ketahui, dan tidak ada dukungan dari pikiran manusia, dan dengan demikian hanya dapat diterima dengan iman berdasarkan otoritas Firman Tuhan.[8]
Dengan memahami Trinitas sebagai suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan, maka setiap tindakan yang dilakukan oleh salah satu Pribadi tidak dapat dipisahkan peranannya oleh Pribadi yang lain. Setiap tindakan (walaupun dalam pewujudannya dilakukan oleh salah satu wujud pribadi) yang dilakukan oleh Trinitas merupakan suatu tindakan bersama yang merupakan pewujudnyataan keberadaan Tuhan atas penyataanNya tersebut.

C.    Pandangan Teologi Yohanes terhadap Eksklusivismedan Trinitas
Tampaknya kita perlu membedakan “prapaham” dan “prasangka”. Prapaham adalah sesuatu yang ada dalam diri kita, yang menyebabkan kita melihat atau tidak melihat sesuatu di dalam teks. Prapaham itu (sebaiknya) kita biarkan terbuka dalam interaksi kita dengan teks atau dengan dunia di luar kita, sehingga prapaham kita berkembang menjadi paham. Prasangka adalah prapaham yang kita biarkan tertutup terus, tidak pernah kita biarkan menjadi paham. Prasangka adalah paham yang disalahpahami sebagai paham.[9]
Oleh sebab itu,  sepertinya kita perlu melihat pendapat Yohanes mengenai eksklusivisme. Frasa yang seringkali digunakan sebagai eksklusifitas dari kekristenan (berpandangan eksklusivisme) adalah dalam Yohanes 14:6.[10] Yohanes 14:6 selalu menjadi teks yang terisolasi dari seluruh struktur tekstual dan historisnya dan karenanya dapat dimanfaatkan  untuk tujuan apa pun yang terlepas dari makna kontekstualnya. Selain itu, kerap terjadi literalisasi atas metafora ini sedemikian rupa hingga justru para pemakainya terjebak ke dalam ketidakmengertian yang mirip dengan apa yang ditunjukkan baik oleh Simon Petrus, “Tuhan, ke manakah Engaku pergi?” (Yoh 13:36), maupun Tomas, “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?” (Yoh 14:5). Ketidakmengertian itu tentu bukanlah kesalahan Petrus atau Tomas, sebab Yesus sendiri mengatakan di 14:2, “Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal... sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.”
Pada Yohanes 13:3, “ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang,” Yesus sesungguhnya menggemakan keyakinan iman yang telah dianut bahkan oleh iman Israel mengenai transendensi Allah, yang kemudian ditegaskan ulang oleh Paulus di dalam 1 Timotius 6:16  “Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemanyam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. BagiNyalah hormat dan kuasa yang kekal! Amin.” Sang Bapa memang tak mungkin terhampiri (unapproacble), tak terkatakan (unsayable), dan tak terpahami (incomprehensible). Di dalam Yohanes 14:2 menunjukkan dua tempat, yang satu adalah “tempat tinggal” (mone) dan yang lain adalah “tempat” (topos). Sementara topos lebih menunjuk pada sebuah lokasi spesial, mone lebih menunjuk pada sebuah “lokasi” relasional.
Kata mone hanya muncul dua kali di Alkitab dan keduanya terdapat di dalam Yohanes 14, yaitu ayat 2 dan ayat 23, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu dan BapaKu akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam (mone) bersama-sama dengan dia.” Akar kata dari mone adalah meno yang berarti “berdiam” atau “tinggal” (dwelling) yang muncul sangat melimpah khususnya dalam tulisan Yohanes. Kata ini secara Trinitas dipergunakan untuk merujuk pada persekutuan relasional antara Sang Bapa dan Sang Anak: Sang Bapa tinggal di dalam Sang Anak dan Sang Anak tinggal di dalam Bapa (Bd. Yoh 14:10).
Gagasan inilah yang menjadi dasar terkuat bagi doktrin Trinitas yang disebut perichoresis yang berarti “saling tinggal” atau “saling memberi ruang” (mutual indwelling) antara tiga Pribadi ilahi. Dalam perspektif inilah maka, “rumah Bapa” pada ayat 2 perlu dilihat bukan sebuah topos namun sebagai mone, dan itu berarti Sang Bapa adalah Sang Rumah itu sendiri, sebab di dalam Sang Bapa itulah Sang Anak berdiam pada gilirannya ciptaan dapat dikatakan “berdiam di dalam Sang Bapa” hanya dengan cara berdiam di dalam Sang Anak. Ciptaan tetap tak mungkin diam secara langsung di dalam Sang Bapa yangg tak terhampiri itu, kecuali melalui dan di dalam Sang Anak. Itulah sebabnya, di ayat 7 Yesus menegaskan, “sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal BapaKu. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” Hal yang sama diucapkanNya untuk menjawab Filipus yang ingin melihat Sang Bapa (ay. 8) dan tentulah keinginan Filipus ini mengingkari prinsip transendensi Bapa. Maka Yesus menjawab, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (ay.9).[11]

D.    Meninjau ulang eksklusivisme melalui Yohanes 14:6
a.      Melalui kata ego eimi
Koegel menjelaskan bahwa Yesus tidak berkata: “Aku akan menunjukkan kepadamu jalan” seperti kata Musa, namun “Akulah jalan”; bukan “Aku punya kebenaran” seperti kata Elia, tapi “Akulah kebenaran”; Bukan hanya “Aku akan menuntunmu kepada hidup” namun, “Akulah hidup”. Penekanan kata Ego Eimi yang dipakai Yohanes dalam perkataan Yesus menekankan kesetaraan Yesus dengan Bapa. Yesus yang merupakan gambar dan rupa Allah sendiri, yang lahir dari anak dara Maria merupakan pendamai sekaligus inkarnasi Allah sendiri dalam upaya penyelamatanNya terhadap manusia. Penyataan diriNya inilah sebagai dasar dari soteriologi salib Kristus yang menunjukan bahwa Dialah satu-satunya dan yang layak menebus dosa manusia. Karena hanya Dialah yang sempurna dan tak bercacat.[12] Penggunaan Ego Eimi mengingatkan kita akan penyataan diri Tuhan dalam Perjanjian Lama (Keluaran 3:14). TUHAN, adalah nama diatas segala nama dan Dialah yang tidak ternamai oleh manusia karena keberadaan dan kekuasaanNya yang melampaui segala yang ada. Penyataan Yesus yang menyamakan diriNya sebagai Yang Ada, Yang Telah Ada dan Yang Terus Ada sebenarnya menyatakan kehadiranNya sebelum dunia dijadikan (Yoh 1:1).
b.      Melalui kata aleteia
Kata aleteia merupakan realitas akan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia melalui inkarnasiNya. Hukum diberikan Allah lewat mediator layaknya Musa pada Perjanjian Lama. Namun dalam hal anugerah keselamatan dan kebenaran haruslah disampaikan oleh Allah sendiri. Dalam hal memperoleh “jalan”, diperlukan penguasaan oleh Allah sendiri dalam melingkupi orang yang mengikuti “jalan” tersebut.[13] Jalan bukanlah berarti jalur yang dipakai dan kemudian jika telah mencapai tujuan ditinggalkan. Jalan disini menunjukkan kehadiran diriNya dalam karya penyelamatanNya kepada umatNya. Jalan yang dimaksud adalah kehadiran Tuhan dalam Anak dalam melingkupi seluruh aspek kehidupan orang percaya dalam rangka keselamatan dan perdamaian kembali dengan Bapa.

E.     Pendekatan Trinitas sebagai pengganti eksklusifitas dalam Yohanes 14:6
Jika prinsip Trinitas ini kita pahami dengan sungguh, maka ucapan Yesus di dalam ayat 6 yang menegaskan diriNya sebagai Sang Jalan itu jadi berbeda penghayatannya. Kita tidak lagi memahami Yesus sebagai sebuah jalan menuju sebuah tujuan, yaitu Allah Bapa, dan jalan itu akan kita tinggalkan setelah kita mencapai tujuan itu – demikianlah lazimnya fungsi instrumental sebuah jalan, bukan? – Namun, kita dapat mengalami Sang Tujuan atau Sang Rumah itu secara berbarengan, sekalipun pada saat yang bersamaan kita tidak akan pernah melihat Sang Rumah, sebab Sang Rumah hanya dapat kita alami sementara kita menjalani Sang Jalan. Dengan kata lain, perjalanan melalui Yesus adalah tujuan itu sendiri. Sang Jalan dan Sang Rumah menyatu secara perichoretis. Sang Rumah (Sang Bapa) dicapai dan didiami sementara kita menjalani Sang Jalan.
Pendekatan ini di satu sisi mempertegas karakter Trinitas dari Kristus yang hadir untuk menghadirkan sepenuh-penuhnya Sang Tak Hadir itu, sedemikian hingga di dalam hidup orang percaya baik Sang Bapa maupun Sang Anak “akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.’ (Ay. 23). Di sisi lain, pendekatan ini menjadi cara jitu penulis Yohanes untuk mencapai tujuan percakapan ini, yakni untuk memberi peneguhan spiritual bagi para murid yang tengah gentar menghadapi ketidakpastian hidup. Itulah sebabnya di ayat 1 Yesus berseru “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepadaKu,” dan dengan cara yang kurang-lebih sama Ia mengulangi di ayat 27c; “Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Seluruh diskursus ini, dengan kata lain, memang dimaksudkan pertama-tama untuk memberi sebuah sapaan pastoral Trinitas bagi orang-orang (yang sudah) percaya. Jika persekutuan Sang Bapa dan Sang Anak di dalam Roh Kudus menjadi tujuan utama Kristiani, dimana Sang Jalan dan Sang Rumah bersatu, serta manusia diundang untuk berpartisipasi ke dalam persekutuan  Trinitas tersebut, maka jalan-jalan yang ditawarkan oleh agama-agama lain mungkin saja berlangsung walau tidak sama dan tidak sedalam apa yang kita alami di dalam persekutuan Allah Trinitas itu.[14] Jadi, klaim dalam ayat 6b, “tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku,” tidak ingin menolak secara total jalan-jalan lain, namun menolak kemungkinan bahwa jalan-jalan lain tersebut berujung pada persekutuan yang sama yang kita alami bersama dan di dalam Allah Trinitas. Konsep ini juga pada akhirnya menolak paham pluralisme karena mustahil adanya keseragaman konsep soteriologis jika konsep eskatologisnya saja berbeda. Dengan demikian dapat dimasukkan adanya kemungkinan kehadiran agama-agama lain di dalam relasi dengan Allah Trinitas.[15]
 

Kesimpulan

Kesimpulan penulis dari makalah ini adalah konsep eksklusif yang dipakai oleh kekristenan di dalam Yohanes 14:6 untuk menanggapi keberagaman agama dan kepercayaan (yang lain) yang ada tidaklah lagi menjadi relevan karena maksud dan tujuan Yohanes dalam menulis perkataan Yesus bukanlah demikian. Penyataan Yesus dalam Yohanes 14:6 lebih menyatakan keberadaan Allah yang Trinitas dan bukan menyatakan konsep soteriologis saja tanpa melihat eskatologisnya juga. Penyataan diri Allah dalam Anak merupakan penyataan diri Bapa dan Roh Kudus juga. Penyataan diriNya haruslah dibarengi dengan pemahaman akan ketiga naturNya dan tidak memisahkan kepribadianNya (tergantung) dari pewujudanNya (Bapa – Anak – Roh).
Dengan tidak meng-eksklusif-kan (pada akhirnya cenderung menutup diri dari dunia luar) diri terhadap kepercayaan lain dan menganggap kebenaran yang kita anut adalah mutlak dan radikal maka secara tidak langsung kita membuka jalan bagi orang lain yang belum mengenal Allah melihat keindahan karya penyelamatanNya atas manusia dan membuka jalan pertobatan bagi yang hilang (Lukas 19:10).

Kepustakaan

2013                              dalam Konprensi Teologi yang diselenggarakan  STT Amanat Agung (pada tanggal 28-29 Oktober 2013).
Baan, G.J,                              
2010                              TULIP, Lima Pokok Calvinisme, Surabaya: Momentum.
Berkhof,Louis,
2011                              Teologi Sistematika “Doktrin Kristus” vol. 3, Surabaya: Momentum.
Bromiley, Geoffrey W
1992                               The International Standard Bible Encyclopedia vol. II, Grand Rapids: William B. Eerdmans.
Heim,S. Mark,
2001                              The Depth of the Riches: A Trinitarian Theology of Religious Ends, Grand Rapids: W.B Eerdmans, 2001.
Kuhl,Dietrich,
2010                              Sejarah Gereja “Antara Iman Dan Rasio” jilid 3, Batu: YPPII.
Lenski, R.C.H,
1963                              The Interpreter of St. John’s Gospel, Minneapolis: Augsburg Publishing House.
Lumintang,Stevri Indra,
2009                              Theologia Abu-abu, Malang: Gandum Mas.
Singgih, E. Gerrit (Peny.),
2004                              Forum Biblika “Jurnal Ilmiah Populer”,Jakarta: LAI.




[1] Geoffrey W. Bromiley, The International Standard Bible Encyclopedia vol. II, (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1992), 1082.
[2] Ibid.
[3] Untuk melihat lebih lanjut, bangsa Israel menggunakan kata “Am” sebagai predikat bangsa pilihan dan “goy(im)” kepada bangsa-bangsa lain (kafir).
[4] Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-abu, (Malang: Gandum Mas, 2009), 206.
[5] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja “Antara Iman Dan Rasio” jilid 3, (Batu: YPPII, 2010), 10-13.
[6]G.J. Baan, TULIP, Lima pokok Calvinisne, (Surabaya: Momentum, 2011), 5-20.
[7] Louis Berkhof, Teologi Sistematika “Doktrin Kristus” vol. 3, (Surabaya: Momentum, 2011), 42-43.
[8] Ibid, 45.
[9] E. Gerrit Singgih(Peny.), Forum Biblika “Jurnal Ilmiah Populer”, (Jakarta: LAI, 2004), 38-39.
[10] Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-abu,... 206.
[11] Dikutip dari orasi ilmiah Dr. Joas Adiprasetya dalam Konprensi Teologi yang diselenggarakan  STT Amanat Agung pada tanggal 28-29 Oktober 2013.
[12] R.C.H. Lenski, The Interpreter of St. John’s Gospel, (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1963), 980.
[13] Ibid.
[14] S. Mark Heim, The Depth of the Riches: A Trinitarian Theology of Religious Ends, (Grand Rapids: W.B Eerdmans, 2001), 10-20.
[15] Dikutip dari orasi ilmiah Dr. Joas Adiprasetya dalam Konprensi Teologi yang diselenggarakan  STT Amanat Agung pada tanggal 28-29 Oktober 2013.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Yohanes 14 : 6 dalam bahasa Ibrani : " Anokhi haDerekh, vehaEmet, vehaChayim. Lo yavo el haAv bilti al yadi.

    BalasHapus
  3. Yohanes 14 : 6 dalam bahasa Ibrani : " Anokhi haDerekh, vehaEmet, vehaChayim. Lo yavo el haAv bilti al yadi.

    BalasHapus