Janji pernikahan
merupakan janji persekutuan abadi yang diucapkan dengan sungguh-sungguh di
hadapan Allah, ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk
saling setia seumur hidup. Dengan kata lain janji pernikahan adalah janji yang
tidak bisa dibatalkan. Janji ini juga yang menjadi inti atau fondasi dari
sebuah pernikahan. Perjanjian tidak berfungi sebgai pengunci kaku dalam
hubungan suami istri, karena jika demikian pernikhn akan menjadi sebuah
penjara. Perjanjian lebih bersifat sebagai penghubung yang lentur antara dua
kepribadian. Ketika hubungan mulai merenggang maka janji pernikahan akan
menjadi penghubung dalam yang merekatkan kembali bagian-bagian yang renggang.
Pernikahan
Kristen sejak semulanya telah dirancang untuk mempermuliakan Tuhan lewat
kesatuan yang suci dengan diikat dengan suatu janji yang alkitabiah. Pernikahan
Kristen juga ditujukan sebagai rumah cinta kasih dan tempat membina keluarga
yang saleh yang memuliakan nama Tuhan dalam kehidupan mereka.
Dalam pernikahan Kristen, Allah
tidak pernah menghendaki perceraian (Mal 2:16). Ia selalu memandang janji
pernikahan sebagai sesuatu yang serius dan diperhitungkan. Akan tetapi, tidak
demikian dengan keadaan manusia, janji yang dibuat oleh manusia sering
diingkari bahkan dilupakan dengan sengaja.
Menurut Paul ada banyak faktor yang
sangat berpengaruh dalam melemahkan gagasan tentang pernikahan. Humanisme yang mengajarkan bahwa
pernikahan adalah persoalan pribadi, tidak ada Allah yang akan peduli atau
memegang janji kita. Relativisme dalam
masalah moral mempermudah kita untukmembuat peratturan-peraturan sendiri, dan
melanggarnya jika kita berubah pikiran. Egoisme,
perpduan antara humanisme dan relativisme mengajar untuk memaksimalkan potensi
kita sebagai manusia, sehingga membenarkan meninggalkan pernikahan dengan
alasan aktualisasi diri. Pragmatisme
yang mendorong seseorang untuk berani mengambil keputusan berdasarkan apa yang
dianggap terbaik bagi dirinya. Maka, ketika seseorang merasa bahwa pernikahan
sudah tidak memuaskan, ia dapat langsung meninggalkannya.[1]
Pergeseran gagasan tentang
pernikahan yang terjadi pada masyarakat saat ini memberikan dampak serius pada
keselamatan pernikahan dimasa sekarang dan dimasa mendatang. Diperlukan
rekonsiliasi yang serius pada konsep pemikiran tentang janji pernikahan dalam
pernikahan Kristen dewasa ini. Kegagalan-kegagalan pernikahan yang sangat
banyak dijumpai pada masa ini menunjukkan tingkat urgenitas yang tinggi dalam menyelamatkan generasi sekarang dan
generasi mendatang.
Realitas
Pernikahan di Indonesia
Pernikahan yang bahagia adalah dambaan
setiap orang yang memutuskan untuk menikah, akan tetapi kenyataan pada saat ini
menunjukkan bahwa harapan mewujudkan pernikahan yang bahagia sangat sukar untuk
dicapai. Hal ini dibuktikan dengan angka perceraian di Indonesia yang dianggap
paling tinggi di Asia-Pasifik. Data BKKBN menunjukkan dari dua juta pasangan
yang menikah pada tahun 2010, 285.184 pasangan memutuskan untuk bercerai. Hal
ini berarti satu dari sepuluh pasangan menikah berakhir dengan perceraian. Data
BKKBN juga menunjukkan bahwa 70% perceraian disebabkan ketidakharmonisan. [2]
Realitas pernikahan yang berakhir dengan
percerian ini menjadi kekhawatiran yang juga melanda kehidupan orang Kristen.
Dalam kehidupan pernikahan Kristen perceraian bukanlah hal yang dikehendaki
Allah, karena janji pernikahan yang di ucapkan pada saat dua orang menyatakan
janji setia di hadapan Allah akan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi kenyataan
di lapangan menunjukkan ada banyak pasangan Kristen yang juga melakukan
perceraian bahkan pernikahan kedua kali dengan orang lain. Parson mengungkapkan
bahwa, “Adalah sebuah keadaan berbahaya ketika janji pernikahan diucapkan
dengan pemikiran bahwa pernikahan dapat dikahiri. Sungguh tragis jika orang
memasuki pernikahan dengan berfikir bahwa ada kemungkinan bagi mereka untuk
mengakhirinya.”[3]
Problematika Pernikahan
Ada sesuatu yang hilang dalam banyak
pernikahan masa kini, yaitu janji pernikahan yang di dalam Alkitab disebut
sebagai inti atau fondasi pernikahan. Hal-hal lainnya seringkali berada di atas
janji pernikahan itu. Hal-hal tersebut dapat berupa memahami harapan, membangun
komunikasi yang baik, kemampuan memecahkan masalah, menemukan dan membuat
pembagian tugas yang tepat, membuat pernikahan sebagai sesuatu yang
menyenangkan dann lain-lain. Semuanya penting sebagai satu kesatuan. Namun tanpa
fondasi, semuanya itu akan runtuh bersama seluruh bangunan. Menurut Les dan
Leslie mengabaikan masalah atau menumpuk masalah yang timbul dalam masalah
pernikahan juga merupakan hal yang sangat berbahaya dalam kehidupan pernikahan
Kristen. Oleh karena itu, menyadari kehadiran masalah dan menyelesaikan atau
mencari pertolongan tepat pada waktunya sangat diperlukan dalam kelangsungan
kehidupan pernikahan Kristen.[4]
- Janji Pernikahan
Paul memberikan definisi terhadap janji pernikahan
sebagai, “Janji yang mengikat dan menyatukan persetujuan dua pribadi dimana dua
orang dengan sukarela setuju untuk saling memilki demi kebaikan sepanjang hidup
mereka.”[5]
Perjanjian tersebut dinyatakan dalam ikrar pernikahan yang berisi persetujuan,
namun perjanjian itu sendiri lebih besar artinya daripada ikrar yang diucapkan.
Ketaatan yang kemudian disebut sebagai kesetiaan, adalah pelekat yang akan
menjaga ikrar yang sudah diucapkan. Perjanjian itu lebih besar artinya daripada
ikrar yang diucapkan. Suatu perjanjian dibuat berdasarkan ikrar yang diucapkan.
Oleh karenanya, pengucapan ikrar adalah bagian terpenting dari proses
terwujudnya perjanjian.
Isi Janji pernikahan tersebut adalah sebagai berikut:
“Saya
mengambil engkau menjadi istri/suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga,
dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu
kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling
mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum
Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku
yang tulus”.[6]
- Pandangan Alkitab Terhadap Pernikahan
Pandangan Alkitab terhadap pernikahan
dimulai dari pernyataan Allah dalam Kejadian 2:24 yang berbunyi, “Sebab itu
seorang laki-laki akan meninggalkan isterinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging”. Dasar inilah yang kemudian yang
menjadi landasan Yesus dalam menjawab pertanyaan orang farisi seputar
pernikahan dan perceraian yang tertulis dalam Matius 19:4-12 dan Markus 10:6-9.
Jawaban Yesus kepada orang-orang farisi tersebut merupkan landasan pikiran bagi
umat kristiani mengenai pernikahan. Dalam pasal tersebut Yesus tidak
mempedulikan pandangan pendengar dari para pemuka agama pada zaman itu yang
memperbolehkan perceraian dalam pernikahan. Ia menunjuk bahwa Kitab Suci adalah
satu-satunya otoritas yang tidak memperbolehkan perceraian. Dia kembali pada
pola asli pernikahan dalam Kejadian 2:24.
Menurut Wheat Jawaban Yesus dalam pasal
paralel Matius 19:4-12 dan Markus 10:6-9 merupakan pola pernikahan yang
alkitabiah dari perkataan dan pandangan ilahi yang tetap relevan sampai zaman
sekarang. Ketika seorang pria dan seorang wanita menikah, Allah turut mengambil
bagian dalam mengikatsatukan mereka berdua, mengubah apa yang sebelumnya dua
itu menjadi satu. Dari titik pandang ilahi, pernikahan merupakan suatu kesatuan
yang tak dapat dibubarkan oleh pengadilan manapun.[7]
Rancangan pernikahan menurut Allah dalam
Markus 10:6-9 dan juga tertulis dalam Matius 19: 5-6 adalah sebagai berikut:
“Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan
mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu
daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
- Janji Pernikahan dan Implikasinya Terhadap Pernikahan Kristen
Berdasarkan pemaparan
tentang janji pernikahan dan makna pernikahan Kristen, maka ditemukanlah bahwa
keduanya sangat terkait satu sama lain. Janji pernikahan merupakan permulaan
dimulainya suatu pernikahan Kristen. Oleh karena itu janji pernikahan
memberikan implikasi pada pernikahan Kristen. Untuk mengetahui lebih spesifik
implikasi janji pernikahan dalam pernikahan kristen, Paul menguraikannya dalam
tabel dibawah ini[8]:
Janji
|
Implikasi
|
“Saya
mengambil engkau”
|
Perjanjian
ini bersifat ekslusif; pasangan saya adalah seorang yang unik dan terpilih.
|
“menjadi
istri/suami saya”
|
Pernikahan
adalah perjanjian untuk saling memiliki; dan bukan kontrak bersyarat;
dasarnya adalah relasional.
|
“untuk
saling memiliki dan menjaga”
|
Perjanjian
bersifat total: umum, perorangan dan pribadi.
|
“sampai
selama-lamanya; pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun
kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan
menghargai, sampai maut memisahkan kita”
|
Perjanjian
ini tidak bisa dibatalkan.
|
“sesuai
dengan hukum Allah yang kudus”
|
Perjanjian
ini suci; Allah menyatukan pasangan-pasangan perjanjian.
|
“Dan
inilah janji setiaku yang tulus”
|
Perjanjian
ini mengagumkan; kita telah menyerahkan kata-kata, janji dan diri kita
sendiri.
|
Implikasi janji pernikahan dalam
pernikahan Kristen seperti yang diuraikan dalam tabel diatas menegaskan kembali
bahwa dalam pernikahan Kristen janji pernikahan bukan sekedar ucapan belaka,
akan tetapi suatu ikrar yang bermakna yang merangkum seluruh kehidupan
pernikahan suci Kristen.
SOLUSI
A.
Terhadap
Fenomena di Lapangan
Perceraian lebih berhubungan dengan
lembaga pernikahan, bukan dengan perjanjian yang tidak dapat dibatalkan. Inilah
yang dimaksud Yesus dalam Markus 9:10. Permasalahan seberat apapun tidak dapat
membatalkan perjanjian. Permasalahan – permsalahan dalam pernikahan lebih
membutuhkan pengampunan dalam penyelesainnya, bukan perceraian. Bahkan
keputusan dari kedua belah pihak tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian.
Pembaharuan perjanjian dapat menjadi solusi yang baik. Pembaharuan perjanjian
adalah mengenai pengampunan terhadap pasangan.
B.
Terhadap
Acuan Teori
Sepasang manusia dapat disatukan oleh
Allah dengan cara tertentu, dan tidak dapat dipisahkan oleh manusia apapun
alasannya. Janji pernikahan yang telah diucapkan mengandung makna mendalam yang
harus menjadi fondasi dalam pernikahan Kristen. Dalam perjalanan pernikahan
tersebut janji pernikahan memberikan implikasi yang akan memperkuat dan
melekatkan kembali disaat hal-hal sulit terjadi dalam pernikahan Kristen. Dalam
implikasinya terhadap pernikahan Kristen janji pernikahan merupakan hal yang
ekslusif, relasional, total, loyal, suci dan tulus.
Allah
yang mempersatukan dan hanya Allah yang dapat membatalkan perjanjian. Dan Ia
memilih untuk tidak melakukannya, demi kebaikan manusia. Kekuatan janji
pernikahan merupakan fondasi dari pernikahan Kristen yang diinginkan Allah.
Janji pernikahan tidak hanya perlu diucapkan namun dirasakan dan dialami dalam
perjalanan pernikahan Kristen. Dalam menjalani kehidupan pernikahan, pasangan –
pasangan Kristen mungkin menghadapi saat-saat sulit, akan tetapi yang
dibutuhkan adalah sebuah pembaharuan perjanjian yang berarti adanya pengampunan
yang tulus dan sungguh-sungguh antara kedua belah pihak. Bagi umat kristiani,
kematian dan kebangkitan Kristus adalah teladan pengampunan dan pembaharuan
dalam pemeliharaan Allah yang sempurna bagi perjanjian. Pengampunan adalah
suatu keputusan yang akan menyelamatkan janji pernikahan dan pernikahan itu
apapun yang terjadi. Pada akhirnya hubungan Allah dengan manusia memberi
penjelasan yang nyata tentang sebuah hubungan pernikahan.
Demikianlah
karya tulis ilmiah ini, penulis berharap lewat karya ini nama Tuhan
dipermuliakan dan pembaca diberkati, Soli
Deo Gloria.
DAFTAR PUSTAKA
Parrot, Leslie & Les. 2002. When Bad Things Happen To Good Marriage. Batam Centre: Interaksara.
Parsons, Rob. 1997. The Sixty Minute Marriage. UK: Cardiff.
Smaliey, Gary. 2001. Cinta Adalah Sebuah Keputusan. Batam
Centre: Interaksara.
Stevens, Paul. 2004. Membangun Pernikahan Yang Rohani.
Yogyakarta: Gloria Graffa.
Stevens, Paul. 2004. Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia. Yogyakarta:
Gloria Graffa.
Wheat, Ed. 1999. 20 Langkah Menuju Pernikahan
Yang Bahagia. Jakarta: Karismata.
http://www.berita_bkkbn.com
[1]Paul Stevens, Membangun
Pernikahan Yang Rohani, (Yogyakarta:
Gloria Graffa, 2004),. 15
[2]Berita
Bkkbn di posting tanggal 24 September
2013 ( diakses pada tanggal 30 September 2014)
[3]Rob Parsons, The Sixty
Minute Marriage, (UK: Cardiff, 1997),. 94
[4]Les
& Leslie Parrot, When Bad Things Happen To Good Marriage, (Batam Centre: Interaksara, 2002),.40
[5]Paul Stevens, Seni
Mempertahankan Pernikahan Bahagia, (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2004),.48
[6]Ibid,.
49
[7]Ed Wheat, 20 Langkah Menuju Pernikahan Yang Bahagia, (Jakarta:
Karismata, 1999),. 32
[8]Paul Stevens, Seni
Mempertahankan Pernikahan Bahagia, (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2004),.
67-68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar