Sabtu, 25 Juli 2015

JANJI PERNIKAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERNIKAHAN KRISTEN



          Janji pernikahan merupakan janji persekutuan abadi yang diucapkan dengan sungguh-sungguh di hadapan Allah, ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk saling setia seumur hidup. Dengan kata lain janji pernikahan adalah janji yang tidak bisa dibatalkan. Janji ini juga yang menjadi inti atau fondasi dari sebuah pernikahan. Perjanjian tidak berfungi sebgai pengunci kaku dalam hubungan suami istri, karena jika demikian pernikhn akan menjadi sebuah penjara. Perjanjian lebih bersifat sebagai penghubung yang lentur antara dua kepribadian. Ketika hubungan mulai merenggang maka janji pernikahan akan menjadi penghubung dalam yang merekatkan kembali bagian-bagian yang renggang.
Pernikahan Kristen sejak semulanya telah dirancang untuk mempermuliakan Tuhan lewat kesatuan yang suci dengan diikat dengan suatu janji yang alkitabiah. Pernikahan Kristen juga ditujukan sebagai rumah cinta kasih dan tempat membina keluarga yang saleh yang memuliakan nama Tuhan dalam kehidupan mereka.
            Dalam pernikahan Kristen, Allah tidak pernah menghendaki perceraian (Mal 2:16). Ia selalu memandang janji pernikahan sebagai sesuatu yang serius dan diperhitungkan. Akan tetapi, tidak demikian dengan keadaan manusia, janji yang dibuat oleh manusia sering diingkari bahkan dilupakan dengan sengaja.
            Menurut Paul ada banyak faktor yang sangat berpengaruh dalam melemahkan gagasan tentang pernikahan. Humanisme yang mengajarkan bahwa pernikahan adalah persoalan pribadi, tidak ada Allah yang akan peduli atau memegang janji kita. Relativisme dalam masalah moral mempermudah kita untukmembuat peratturan-peraturan sendiri, dan melanggarnya jika kita berubah pikiran. Egoisme, perpduan antara humanisme dan relativisme mengajar untuk memaksimalkan potensi kita sebagai manusia, sehingga membenarkan meninggalkan pernikahan dengan alasan aktualisasi diri. Pragmatisme yang mendorong seseorang untuk berani mengambil keputusan berdasarkan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya. Maka, ketika seseorang merasa bahwa pernikahan sudah tidak memuaskan, ia dapat langsung meninggalkannya.[1]
            Pergeseran gagasan tentang pernikahan yang terjadi pada masyarakat saat ini memberikan dampak serius pada keselamatan pernikahan dimasa sekarang dan dimasa mendatang. Diperlukan rekonsiliasi yang serius pada konsep pemikiran tentang janji pernikahan dalam pernikahan Kristen dewasa ini. Kegagalan-kegagalan pernikahan yang sangat banyak dijumpai pada masa ini menunjukkan tingkat urgenitas yang tinggi dalam menyelamatkan generasi sekarang dan generasi mendatang.
       
  Realitas Pernikahan di Indonesia
Pernikahan yang bahagia adalah dambaan setiap orang yang memutuskan untuk menikah, akan tetapi kenyataan pada saat ini menunjukkan bahwa harapan mewujudkan pernikahan yang bahagia sangat sukar untuk dicapai. Hal ini dibuktikan dengan angka perceraian di Indonesia yang dianggap paling tinggi di Asia-Pasifik. Data BKKBN menunjukkan dari dua juta pasangan yang menikah pada tahun 2010, 285.184 pasangan memutuskan untuk bercerai. Hal ini berarti satu dari sepuluh pasangan menikah berakhir dengan perceraian. Data BKKBN juga menunjukkan bahwa 70% perceraian disebabkan ketidakharmonisan. [2]
Realitas pernikahan yang berakhir dengan percerian ini menjadi kekhawatiran yang juga melanda kehidupan orang Kristen. Dalam kehidupan pernikahan Kristen perceraian bukanlah hal yang dikehendaki Allah, karena janji pernikahan yang di ucapkan pada saat dua orang menyatakan janji setia di hadapan Allah akan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan ada banyak pasangan Kristen yang juga melakukan perceraian bahkan pernikahan kedua kali dengan orang lain. Parson mengungkapkan bahwa, “Adalah sebuah keadaan berbahaya ketika janji pernikahan diucapkan dengan pemikiran bahwa pernikahan dapat dikahiri. Sungguh tragis jika orang memasuki pernikahan dengan berfikir bahwa ada kemungkinan bagi mereka untuk mengakhirinya.”[3]

Problematika Pernikahan
Ada sesuatu yang hilang dalam banyak pernikahan masa kini, yaitu janji pernikahan yang di dalam Alkitab disebut sebagai inti atau fondasi pernikahan. Hal-hal lainnya seringkali berada di atas janji pernikahan itu. Hal-hal tersebut dapat berupa memahami harapan, membangun komunikasi yang baik, kemampuan memecahkan masalah, menemukan dan membuat pembagian tugas yang tepat, membuat pernikahan sebagai sesuatu yang menyenangkan dann lain-lain. Semuanya penting sebagai satu kesatuan. Namun tanpa fondasi, semuanya itu akan runtuh bersama seluruh bangunan. Menurut Les dan Leslie mengabaikan masalah atau menumpuk masalah yang timbul dalam masalah pernikahan juga merupakan hal yang sangat berbahaya dalam kehidupan pernikahan Kristen. Oleh karena itu, menyadari kehadiran masalah dan menyelesaikan atau mencari pertolongan tepat pada waktunya sangat diperlukan dalam kelangsungan kehidupan pernikahan Kristen.[4]



  1. Janji Pernikahan
Paul memberikan definisi terhadap janji pernikahan sebagai, “Janji yang mengikat dan menyatukan persetujuan dua pribadi dimana dua orang dengan sukarela setuju untuk saling memilki demi kebaikan sepanjang hidup mereka.”[5] Perjanjian tersebut dinyatakan dalam ikrar pernikahan yang berisi persetujuan, namun perjanjian itu sendiri lebih besar artinya daripada ikrar yang diucapkan. Ketaatan yang kemudian disebut sebagai kesetiaan, adalah pelekat yang akan menjaga ikrar yang sudah diucapkan. Perjanjian itu lebih besar artinya daripada ikrar yang diucapkan. Suatu perjanjian dibuat berdasarkan ikrar yang diucapkan. Oleh karenanya, pengucapan ikrar adalah bagian terpenting dari proses terwujudnya perjanjian.
            Isi Janji pernikahan tersebut adalah sebagai berikut:
“Saya mengambil engkau menjadi istri/suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku  yang tulus”.[6]

  1. Pandangan Alkitab Terhadap Pernikahan
Pandangan Alkitab terhadap pernikahan dimulai dari pernyataan Allah dalam Kejadian 2:24 yang berbunyi, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan isterinya,  sehingga keduanya menjadi satu daging”. Dasar inilah yang kemudian yang menjadi landasan Yesus dalam menjawab pertanyaan orang farisi seputar pernikahan dan perceraian yang tertulis dalam Matius 19:4-12 dan Markus 10:6-9. Jawaban Yesus kepada orang-orang farisi tersebut merupkan landasan pikiran bagi umat kristiani mengenai pernikahan. Dalam pasal tersebut Yesus tidak mempedulikan pandangan pendengar dari para pemuka agama pada zaman itu yang memperbolehkan perceraian dalam pernikahan. Ia menunjuk bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya otoritas yang tidak memperbolehkan perceraian. Dia kembali pada pola asli pernikahan dalam Kejadian 2:24.
Menurut Wheat Jawaban Yesus dalam pasal paralel Matius 19:4-12 dan Markus 10:6-9 merupakan pola pernikahan yang alkitabiah dari perkataan dan pandangan ilahi yang tetap relevan sampai zaman sekarang. Ketika seorang pria dan seorang wanita menikah, Allah turut mengambil bagian dalam mengikatsatukan mereka berdua, mengubah apa yang sebelumnya dua itu menjadi satu. Dari titik pandang ilahi, pernikahan merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dibubarkan oleh pengadilan manapun.[7]
Rancangan pernikahan menurut Allah dalam Markus 10:6-9 dan juga tertulis dalam Matius 19: 5-6 adalah sebagai berikut:
 “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
  1. Janji Pernikahan dan Implikasinya Terhadap Pernikahan Kristen
Berdasarkan pemaparan tentang janji pernikahan dan makna pernikahan Kristen, maka ditemukanlah bahwa keduanya sangat terkait satu sama lain. Janji pernikahan merupakan permulaan dimulainya suatu pernikahan Kristen. Oleh karena itu janji pernikahan memberikan implikasi pada pernikahan Kristen. Untuk mengetahui lebih spesifik implikasi janji pernikahan dalam pernikahan kristen, Paul menguraikannya dalam tabel dibawah ini[8]:
Janji
Implikasi
“Saya mengambil engkau”

Perjanjian ini bersifat ekslusif; pasangan saya adalah seorang yang unik dan terpilih.
“menjadi istri/suami saya”

Pernikahan adalah perjanjian untuk saling memiliki; dan bukan kontrak bersyarat; dasarnya adalah relasional.
“untuk saling memiliki dan menjaga”
Perjanjian bersifat total: umum, perorangan dan pribadi.
“sampai selama-lamanya; pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita”
Perjanjian ini tidak bisa dibatalkan.


“sesuai dengan hukum Allah yang kudus”
Perjanjian ini suci; Allah menyatukan pasangan-pasangan perjanjian.
“Dan inilah janji setiaku yang tulus”
Perjanjian ini mengagumkan; kita telah menyerahkan kata-kata, janji dan diri kita sendiri.

            Implikasi janji pernikahan dalam pernikahan Kristen seperti yang diuraikan dalam tabel diatas menegaskan kembali bahwa dalam pernikahan Kristen janji pernikahan bukan sekedar ucapan belaka, akan tetapi suatu ikrar yang bermakna yang merangkum seluruh kehidupan pernikahan suci Kristen.

SOLUSI
A.   Terhadap Fenomena di Lapangan
Perceraian lebih berhubungan dengan lembaga pernikahan, bukan dengan perjanjian yang tidak dapat dibatalkan. Inilah yang dimaksud Yesus dalam Markus 9:10. Permasalahan seberat apapun tidak dapat membatalkan perjanjian. Permasalahan – permsalahan dalam pernikahan lebih membutuhkan pengampunan dalam penyelesainnya, bukan perceraian. Bahkan keputusan dari kedua belah pihak tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian. Pembaharuan perjanjian dapat menjadi solusi yang baik. Pembaharuan perjanjian adalah mengenai pengampunan terhadap pasangan.
B.   Terhadap Acuan Teori
Sepasang manusia dapat disatukan oleh Allah dengan cara tertentu, dan tidak dapat dipisahkan oleh manusia apapun alasannya. Janji pernikahan yang telah diucapkan mengandung makna mendalam yang harus menjadi fondasi dalam pernikahan Kristen. Dalam perjalanan pernikahan tersebut janji pernikahan memberikan implikasi yang akan memperkuat dan melekatkan kembali disaat hal-hal sulit terjadi dalam pernikahan Kristen. Dalam implikasinya terhadap pernikahan Kristen janji pernikahan merupakan hal yang ekslusif, relasional, total, loyal, suci dan tulus.
 

Allah yang mempersatukan dan hanya Allah yang dapat membatalkan perjanjian. Dan Ia memilih untuk tidak melakukannya, demi kebaikan manusia. Kekuatan janji pernikahan merupakan fondasi dari pernikahan Kristen yang diinginkan Allah. Janji pernikahan tidak hanya perlu diucapkan namun dirasakan dan dialami dalam perjalanan pernikahan Kristen. Dalam menjalani kehidupan pernikahan, pasangan – pasangan Kristen mungkin menghadapi saat-saat sulit, akan tetapi yang dibutuhkan adalah sebuah pembaharuan perjanjian yang berarti adanya pengampunan yang tulus dan sungguh-sungguh antara kedua belah pihak. Bagi umat kristiani, kematian dan kebangkitan Kristus adalah teladan pengampunan dan pembaharuan dalam pemeliharaan Allah yang sempurna bagi perjanjian. Pengampunan adalah suatu keputusan yang akan menyelamatkan janji pernikahan dan pernikahan itu apapun yang terjadi. Pada akhirnya hubungan Allah dengan manusia memberi penjelasan yang nyata tentang sebuah hubungan pernikahan.
Demikianlah karya tulis ilmiah ini, penulis berharap lewat karya ini nama Tuhan dipermuliakan dan pembaca diberkati, Soli Deo Gloria.
 
 

DAFTAR PUSTAKA

Parrot, Leslie & Les. 2002. When Bad Things Happen To Good Marriage. Batam Centre: Interaksara.
Parsons, Rob. 1997. The Sixty Minute Marriage. UK: Cardiff.
Smaliey, Gary. 2001. Cinta Adalah Sebuah Keputusan. Batam Centre: Interaksara.
Stevens, Paul. 2004. Membangun Pernikahan Yang Rohani. Yogyakarta: Gloria Graffa.
Stevens, Paul. 2004. Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia. Yogyakarta: Gloria Graffa.
Wheat, Ed. 1999. 20 Langkah  Menuju Pernikahan Yang Bahagia. Jakarta: Karismata.
http://www.berita_bkkbn.com










[1]Paul Stevens, Membangun Pernikahan  Yang Rohani, (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2004),. 15
[2]Berita Bkkbn di posting tanggal 24 September 2013 ( diakses pada tanggal 30 September 2014)
[3]Rob Parsons, The Sixty Minute Marriage, (UK: Cardiff, 1997),. 94

[4]Les & Leslie Parrot, When Bad Things Happen To Good Marriage, (Batam Centre: Interaksara, 2002),.40
[5]Paul Stevens, Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia, (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2004),.48
[6]Ibid,. 49
[7]Ed Wheat, 20 Langkah  Menuju Pernikahan Yang Bahagia, (Jakarta: Karismata, 1999),. 32

[8]Paul Stevens, Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia, (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2004),. 67-68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar